— Perjalanan Eduardo Perez Moran sebagai pelatih kepala Persebaya Surabaya bukan sekadar soal taktik dan strategi. Ia adalah potret mentalitas tangguh pelatih modern yang lahir dari tantangan berat para pelatih di Spanyol—di mana dari 600 pelatih, 400 di antaranya harus merantau ke luar negeri untuk bertahan hidup.
“Karena pada akhirnya, dari semua 600 pelatih di Spanyol, sekitar 400 harus pergi ke luar negeri. Dan ada masalah adaptasi seperti dokumen (keluarga Anda terkadang hanya memiliki visa satu bulan) yang perlu diinformasikan kepada orang-orang agar mereka dapat mempersiapkan diri,” ujar Eduardo Perez dikutip dari Manugalera.
“Karena Anda berpikir bahwa begitu Anda memiliki rumah, Anda telah memiliki segalanya, tetapi saya, misalnya, harus bepergian ke delapan negara untuk memperbarui dokumen saya.”
Eduardo bukan nama asing di dunia sepak bola internasional. Pria asal La Rioja dan Madrid ini pernah membela berbagai klub di Divisi Tiga dan Dua B Spanyol sebelum cedera memaksunya beralih ke dunia kepelatihan.
Beruntung, saat masih bermain ia sudah mengantongi lisensi pelatih. Karier barunya dimulai sebagai pelatih kiper di Girona (Divisi Dua A) dan langsung menuai pengalaman berharga selama dua tahun.
Sejak saat itu, ia tak pernah menetap terlalu lama di satu tempat. Dari Spanyol, kariernya membentang ke Siprus, Qatar, Uni Emirat Arab, hingga Indonesia—sebuah bukti mentalitas adaptif yang kuat.
Eduardo pernah bekerja bersama nama-nama besar seperti Rubi, Julio Bañuelos, hingga Luis Milla. Dari mereka, ia menyerap ilmu tak hanya soal strategi, tapi juga nilai-nilai profesionalisme dan fleksibilitas dalam kepelatihan.
Satu hal penting yang tak diajarkan dalam kursus kepelatihan, katanya, adalah kemampuan adaptasi.
Hal inilah yang justru menjadi modal utama ketika pelatih harus menghadapi kultur, bahasa, bahkan kebiasaan masyarakat yang berbeda dari negara asalnya.
Di UEA, ia harus menyesuaikan jadwal latihan dengan waktu salat dan Ramadan, bahkan suhu ekstrim hingga 47 derajat. Di Qatar dan Siprus, tantangan berbeda datang, tapi tak ada yang membuatnya menyerah.
Di Indonesia, menurut Eduardo, tantangannya jauh lebih kompleks dan menarik. Ia harus memahami bagaimana sepak bola menjadi bagian hidup masyarakat, bukan sekadar hiburan.
“Yang paling menyenangkan adalah antusiasme mereka,” kata Eduardo tentang anak-anak Indonesia yang dilatihnya. “Tidak ada satu hari pun mereka berlatih setengah hati, bahkan kadang harus dihentikan karena terlalu semangat.”
Eduardo pernah juga bertugas memimpin Sekolah Sepak Bola Persija Jakarta, akademi yang merangkul jutaan pengikut di media sosial.
Ia percaya, jika Indonesia mampu memaksimalkan potensi 280 juta penduduknya, maka masa depan sepak bola dunia bisa datang dari Asia Tenggara.
Kala itu Indonesia ada di peringkat ke-170 FIFA. Tapi Eduardo yakin, posisi itu tidak mencerminkan potensi sesungguhnya karena talenta muda Indonesia belum tergarap dengan optimal.
Karena kini per Juni 2025, Indonesia merangsek naik ke peringkat ke-117 FIFA
Bersama Luis Milla, ia pernah menggagas Elite Pro Academy untuk menciptakan fondasi sepak bola yang lebih kuat.
Ia melihat Indonesia mirip Spanyol puluhan tahun lalu—penuh anak-anak bermain bola di jalanan dan taman, menandakan potensi besar di akar rumput.
Namun, antusiasme fans sepak bola Indonesia juga hadir dengan risiko yang tidak biasa.
Eduardo menceritakan bagaimana timnya kadang harus datang ke stadion dengan kendaraan lapis baja karena persaingan antar suporter yang ekstrem.
Pernah suatu kali, mobilnya diguncang massa setelah pertandingan yang tidak memuaskan. Tapi esoknya, ia bisa berjalan di jalanan dan diajak swafoto oleh fans yang sama—sebuah dinamika unik yang jarang ditemukan di tempat lain.
Baginya, Indonesia adalah tempat ideal untuk bekerja dan berkarya. Masyarakatnya rendah hati, mau belajar, dan menjadikan sepak bola sebagai bagian dari identitas.
Eduardo menekankan pentingnya para pelatih untuk tidak kehilangan jati diri saat merantau. Namun, mereka tetap harus membuka diri terhadap kultur lokal agar bisa diterima dan berdampak positif di tempat baru.
Lisensi UEFA yang dimilikinya memang membuka pintu ke banyak negara.
Tapi yang lebih penting, kata Eduardo, adalah membagikan pengalaman lintas budaya kepada pelatih-pelatih muda agar mereka siap secara mental dan logistik.
Faktanya, 400 dari 600 pelatih di Spanyol terpaksa mencari nafkah di luar negeri karena kompetisi domestik terlalu padat. Banyak dari mereka yang mengalami kesulitan soal visa keluarga, dokumen izin tinggal, dan adaptasi sosial.
Eduardo harus berpindah ke delapan negara hanya untuk mengurus dokumen, sebuah pengalaman yang tak banyak diketahui orang.
Ia berharap para pelatih muda di Spanyol dan negara lain memahami tantangan globalisasi dunia kepelatihan sejak awal.
Kini, bersama Persebaya Surabaya, Eduardo menghadapi musim baru Liga 1 Indonesia 2025/2026 dengan semangat penuh. Ia membawa semangat Eropa, fleksibilitas Asia, dan hati yang sepenuhnya tertambat pada Indonesia.
Mentalitasnya dibentuk oleh perjalanan panjang lintas benua. Sebuah mentalitas yang dibutuhkan oleh pelatih mana pun yang ingin bertahan dan menang di panggung sepak bola modern.