Wajah-wajah gembira bersinar di antara para tamu yang memenuhi Balai Kelurahan Parangtritis, Kapanewon Kresek, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta pada hari Sabtu (10/5/2025). Mereka kini sudah memiliki sertifikat tanah yang selama bertahun-tahun menjadi dambaan sejak masa pendudukan Jepang.
Tirto menyapu muka-muka itu. Tetapi wajah yang dituju, malahan tak terlihat. Orang yang dimaksud ialah Suparyanto atau biasanya dipanggil Paryanto.
Mengapa mereka yang secara aktif berusaha untuk mendapatkan kembali hak atas tanah tutupan Jepang—yang dulunya menjadi klaim Keraton Ngayogyakarta dan sekarang telah diserahkan kepada masyarakat biasa—tidak menghadiri acara seremonial penyerahan sertifikat konsolidasi tanah tersebut dari Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN)?
“Pria tersebut menyatakan dengan tegas bahwa dia tidak mendapatkan undangan,” ungkap mantan Ketua Masyarakat Pemanfaatan Tanah Tutupan Jepang saat ini berperan sebagai Sekretaris Kelompok Tani Grogol Parangtritis (KTGP) ketika diwawancara pada hari Minggu, 11 Mei 2025.
Ternyata Paryanto masuk ke dalam grup masyarakat yang belum memperoleh sertifikat tanah penutup Jepang. Secara keseluruhan, terdapat sebanyak 120 lahan tanah penutup Jepang yang saat ini belum mendapatkan sertifikasi. Meski demikian, ia telah memiliki surat C untuk empat dari bidang tersebut.
Keturunan ke tiga dari sang empunya asli tanah tutupan Jepang ini telah mengawali perjuangan mereka untuk mendapatkan hak atas tanah tersebut sejak tahun 2009. Pada masa itu pula, ia mencatatkan kisah tentang tanah tutupan Jepang dengan memberinya nama “Sejarah Tanah Tutupan Jepang Parangtritis”. Tanah tutupan ini diklaim oleh Keraton Ngayogyakarta sebagai tanah milik Kesultanan atau disebut juga Sultan Ground (SG).
Pada tahun 2018, Paryanto justru mendapat kabar bahwa pemerintah pusat mencanangkan Proyek Strategis Nasional (PSN) Jalan Jalur Lintas Selatan (JJLS) yang melintasi tanah tutupan Jepang. Dan bidang tanah milik Paryanto, masuk dalam proyek tersebut.
October 2021 menjadi bulannya bagi upaya keras Paryanto untuk mencapai keadilan. Akhirnya tanah bekas penjajahan Jepang dan klaim atas nama SG berhasil dikembalikan kepada warga setelah melewati proses di Panitia Khusus DPRD DIY berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DIY Nomor 2411/BA-34.PN/X/2021 tanggal 29 Oktober 2021. “Sekarang inget dulu kita harus membentuk panitia khusus itu dari permintaan masyarakat sendiri via perwakilannya, salah satunya adalah diriku,” jelas dia.
Paryanto sangat yakin forum tersebut turut dihadiri oleh wakil dari Panitikismo, institusi pertanian Keraton Ngayogyakarta yang memiliki kewenangan dalam mengatur pemanfaatan dan pengendalian lahan SG. Saat itu, ia menjelaskan bahwa bukti kepemilikan tanah peninggalan Jepang dapat ditunjukkan melalui surat bernama Letter C yang diterbitkan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda.
Meskipun demikian, proyek JJLS masih berlangsung tanpa memberikan kompensasi lahan kepada warga yang diketahui sebagai pemilik tanah penutup Jepang. Paryanto bercanda, sepertinya pemerintah mengira masyarakat menanami tanaman di udara. “Seperti pikirnya orang-orang nek teneke teki dadi tani deh,” katanya.
Humor dari seorang mahasiswa Pascasarjana di Fakultas Psikologi UGM mengkritisi pemerintahan yang telah menyediakan kompensasi hanya untuk tanaman yang terkena dampak proyek JJLS. Namun hingga saat ini, pihak berwenang belum juga membayarkan ganti kerugian atas lahan seluas 16 hektar yang digunakan dalam proyek tersebut.
“Ini adalah upaya penyeizinan yang menindas masyarakat. Negara mengambil tanah seluas 16 hektar,” tegas Paryanto.
Paryanto mengkritisi eksistensi Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Penyediaan Lahan untuk Proyek Publik. Saluran utama dari undang-undang ini menyatakan, “Penyerapan Aset Milik Warga untuk Kebutuhan Masyarakat dijalankan bersamaan dengan memberikan Kompensasi yang sesuai dan wajar.”
Paryanto kemudian menggarisbawahi bahwa masyarakat tidak membantah adanya JJLS. Justru mereka menyokong hal tersebut. Akan tetapi, ia berharap supaya hak-hak warga dihormati dengan memberikan kompensasi atas lahan seluas 16 hektar yang termasuk dalam proyek JJLS.
“Pada intinya, pihak yang mengalami dampak dari JJLS akan mendapatkan kompensasi untuk lahan mereka. Nilainya disesuaikan dengan hasil penilaian,” tegasnya.
Kepala Desa Parangtritis, Topo, mengakui adanya 120 lahan bekas penutupan Jepang yang belum mendapatkan sertifikat dan saat ini masih dalam bentuk surat C. “Semoga 120 tersebut bisa segera diproses,” katanya ketika ditemui di Balai Kelurahan Parangtritis, Sabtu (10/5/2025).
Topo menyatakan bahwa telah terdapat 811 lahan tertutupi dengan bangunan dari zaman Jepun yang sudah mendapatkan sertifikat. Dari jumlah tersebut, masih ada sekitar 120 lahan yang belum memiliki sertifikasi dan hal ini dikarenakan oleh proyek JJLS. Hambatan-hambatan seperti ini menurutnya menjadi penyebab penundaan dalam mencapai tujuan pembangunan jalan yang berencana untuk menghubungkan wilayah Selatan di Pulau Jawa.
“Target awal bulan Oktober 2025 ini sudah tercapai, namun sepertinya akan sedikit tertunda,” ujarnya sebelum pergi meninggalkan para wartawan.
Selama pidato pembukaannya, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid tak membahas mengenai 120 sertifikat tanah tutupan Jepang yang masih belum terselesaikan di bawah program JJLS. Namun, ia lebih fokus untuk memberitahu publik supaya berwaspada saat menyerahkan sertifikat tanah mereka dan hindari penipuan. Ia juga menjelaskan bahwa total area dari lahan tutupan Jepang tersebut adalah kira-kira 107 hektare yang telah dikembalikan kepada pemiliknya.
Dalam suatu wawancara, sang politisi dari Partai Golkar tersebut mengungkap tentang penggolongan kasus yang bisa disebut sebagai kejahatan tanah. Menurut Nusron, satu kasus boleh diidentifikasikan sebagai kejahatan tanah jika mencakup pembohongannya berkaitan dengan lahan berukuran ratusan hingga ribuan hektar serta mempunyai jalinan kuat dalamnya.
“Jika mafia lahan merujuk pada pengaturan hak atas tanah mencapai puluhan hingga ratusan hektar, dan dokumentasinya pun dimanipulasi sehingga bernilai beberapa miliar, atau bahkan triliun rupiah, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan mafia terkait lahan. Jejaring ilegal seperti ini juga ada,” jelasnya.
Karena itu, Nusron menegaskan bahwa ATR/BPN memiliki tanggung jawab untuk melindungi masyarakat, termasuk memperkuat hak kepemilikan warga atas lahan mereka. Mengenai tanah bekas penjajahan Jepang yang diatur untuk dikelola melalui program JJLS berdasarkan pengumpulan kembali dan penyempurnaan batasan, Nusron menyebut ini sebagai rekayasa pertanahan.
“Zaman penjajahan Jepang memiliki lapisan tanah tertentu. Penyusunan ulang ini melibatkan transformasi lahan yang sebelumnya tak berguna, terisolir, atau apapun menjadi sesuatu yang berharga. Semua proses tersebut direncanakan dan dikelola oleh Bpk. Bupati untuk memastikan adanya akses serta manfaat bagi warga,” jelasnya.
Nasrun merasa bersyukur karena seluas 70 hektarnya lahan peninggalan Jepang kini telah disertifikasi dan di serahkan kepada masyarakat setempat. Kemudian, ia mengambil alih pengembangan infrastruktur sesuai dengan kesepakatan yang tercapai melalui musyawarah antara warga serta pihak-pihak berkaitan.
“Nantinya fasilitas sosialnya akan diputuskan oleh masyarakat, apakah itu untuk membangun jalan, sekolah, mesjid, area permainan, atau lapangan olahraga. Semua pilihan tersebut pasti akan didiskusikan bersama Bupati,” katanya.
Menurut Nusron, terdapat prosedur spesifik untuk menyusun program serta merancang infrastruktur di wilayah yang dikuasai oleh Jepang, seperti penyelesaian JJLS bersama Kelok 18. “Umumnya, cara membuat program dan perencanaannya adalah lewat sebuah forum bernama musyawarah perencanaan pembangunan atau disingkat sebagai musrenbang,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa nantinya usulan tersebut akan diajukan dari tingkatan desa yaitu musrenbangdes lalu dilanjutkan ke tingkat camat yakni musrenbangcam, hingga akhirnya sampai pada level kabupaten melalui musrenbang kabupaten.