Penta Peturun
PESAWARAN INSIDE-
Jakarta, pada jum’at malam tanggal 22 mei 2025. Hujan telah reda dari mengguyur halaman Kantor Departemen Tenaga Kerja. Bau kopi dan rokok merekah masih tercium samar-samar. Cahaya lampu merkuri tampak menerobos melalui celah-celah tenda-tenda putih yang kemarin penuh sesak orang-orang. Hari ini tenda itu hening tanpa pengunjung, tetapi tempat tersebut menyimpan semakin banyak kisah.
Jumat malam nanti bukanlah tentang doa atau ketenangan batin. Lebih dari itu, kita membicarakan orang-orang yang menempuh perjalanan panjang hanya demi sebuah wawancara kerja, tentang individu yang mengenakan pakaian rapi namun lapar, dan mereka yang dikasihi oleh keluarga tetapi dilupakan oleh negerinya. Namun saat ini, mereka tak lagi merasakan kesendirian. Sebab ada negara yang secara bertahap mulai mempelajari cara untuk maju bersama dengan mereka.
Kamis malam, sejumlah besar orang berkumpul di area tenda tersebut. Mereka tidak termasuk dalam kelompok politik, juga bukan pengunjung acara Festival atau tamu istimewa suatu pesta. Yang mereka bawa hanyalah map cokelat serta impian kerja yang telah menanti cukup lama untuk direalisasi: pencari kerja.
Mereka berasal dari seluruh penjuru republik. Kebanyakan di antara mereka belum pernah sekali pun melintasi pintu kantor menteri. Namun pada hari itu, mereka tiba tepat waktu, berbaris dengan tertib, menyiapkan Curriculum Vitae-nya, dan bersiap dalam antrian untuk mendapatkan kesempatan tersebut.
Martabat dalam Map Coklat
Seorang penyandang disabilitas berasal dari Tangerang dan tiba sambil mendorong sebuah kursi roda bertuliskan “Saya Bisa”. Orang tersebut bukanlah untuk mencari simpati. Justru sebaliknya, mereka hadir guna memperjuangkan hak-hak mereka.
Negara tidak tinggal diam. Menteri Tenaga Kerja Prof. Yassierli selalu menekankan pada dasarnya bahwa “Pemerintah tidak bisa meninggalkan warganya untuk berjuang mencari pekerjaan sendiri. Ini adalah kewajiban konstitusi, bukan sekadar tindakan belas kasih.”
Acaranya memiliki total 53.107 kesempatan pekerjaan. Acara ini diselenggarakan oleh Kemnaker RI di bawah tenda yang dipasang di area Jl. Gatot Subroto, Kav. 51, Jakarta Selatan.
Negara Yang Keluar Dari Pentas
Ketika Menteri Tenaga Kerja Prof. Yassierli membuka acara Job Fair dengan semangat yang tinggi, sementara itu, Wakil Menterinya, Immanuel Ebenezer, atau lebih dikenal sebagai Noel, memilih untuk mendukung dari tempat lain. Dia tidak berdiri di atas panggung; melainkan, didorong oleh doa dan persetujuan Menteri, ia menjelajahi perusahaan/percetakan tersebut dengan langkah tegap dan tekad kuat.
Dia meng uncover bahwa sertifikatnya tertahan dalam laci-laci departemen SDM. Sementara itu, akte kelahirannya tersembunyi di antara berkas-berkas perekrutan. Ditangguhkan layaknya dokumen mati rasa. “Ini bukan sekadar urusan administrasi. Ini adalah perbudakan,” ujar Noel saat melakukan inspeksi mendadak.
Noel tidak tiba dengan kosong. Dia mengantar petugas tenaga kerja, membawa kamera, serta menyertakan semangat yang perlahan berkembangan dalam diri birokrasi: berani.
Dari Sidak Menjadi Sistem
Saat negara terjun langsung, tindakan pengawasan tidak hanya berarti pemeriksaan biasa. Ini merupakan wujud nyata dari pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 yang sering dilupakan. Menunjukkan bagaimana tindakan sederhana dapat berkembang menjadi perubahan signifikan. Meskipun bersifat administratif, hal tersebut membawa arti ideologi yang dalam.
Berikut ini adalah tahapan mencapai sebuah republik yang tidak hanya pandai memanfaatkan keuntungan dari bonus demografi, tetapi juga peka dalam melindungi martabat penduduknya.
Konstitusi yang Dihina Diam-Diam
Pasal 27 UUD 1945 menyebutkan secara luhur bahwa “Setiap warga negara memiliki hak terhadap pekerjaan serta kehidupan yang pantas untuk kemanusiaan.”
Namun, bagaimana implikasi pasal tersebut untuk Sukron dengan ijazahnya yang masih tertahan? Dan tentang Siti yang enggan meninggalkan pabrik lantaran khawatir akan “denda pelatihan”? Lalu, apakah nilai sebenarnya dari “kehidupan layak” saat para pekerja diminta menyetujui kontrak tiga bulan secara berkelanjutan selama bertahun-tahun?
UUD 1945 tidak hanya terbatas pada Pasal 27. Pada Pasal 28D ayat (2) disebutkan: “Tiap individu memiliki hak untuk bekerja beserta menerima balasan dan perlakuan yang seadil-adilnya serta setimpal dalam urusan pekerjaan.” Hal ini menjadi fondasi bagi keseluruhan struktur jaminan sosial, gaji yang pantas, dan pemantauan dunia tenaga kerja.
Mereka, para pekerja tersebut, belum pernah membaca UUD 1945. Namun, tubuh mereka merasakannya: keadilan saat ini tengah absen.
Surat yang Mengguncang
Setelah kunjungan inspeksi dari Wakil Menteri Noel, Departemen Tenaga Kerja merilis Surat Edaran Nomor M/5/HK.04.00/V/2025 yang jelas dalam maknanya: “Penghentian penahanan ijazah serta dokumen pribadi diperintahkan. Menghalangi pekerja berpindah tempat kerja juga dilarang. Pemerintah akan melakukan pengawasan.”
Surat tersebut sangat sederhana. Namun, ia menjadi sebuah pengakuan bahwa selama ini terjadi kesalahan. Setiap mata telah melihat bagaimana orang-orong berkuasa menganiaya mereka yang lemah, menggunakan alasan prosedur operasional standar (SOP) dan efisiensi sebagai penutupan. Sekarang, melalui selembar kertas itu, negeri ini akhirnya mulai bersuara sesuai dengan lidah rakyatnya.
tenda putih dan nafas republik
Kementerian Tenaga Kerja Republik Indonesia meresmikan pembukaan pameran pekerjaan pada 22-23 Mei 2025. Ada total 53.107 posisi yang dibutuhkan dalam event ini. Khusus pelamar dengan kebutuhan khusus, terdapat 135 kesempatan kerja tersedia. Lokasi penyelenggaraannya adalah tempat tersebut. Ini bukan sekadar ajang seremonial bagi para pegawai negeri saja, tetapi juga menjadi medan perjuangan antara mimpi-mimpi orang banyak dengan statistik nyata penganggur di negara kita.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 7,28 juta penduduk di Indonesia atau setara dengan 4,76% masih berstatus penganguran. Dalam angka tersebut, suara-suara penderitaannya tampak samar; tidak terdapat keluhan sang ibu yang kesulitan membayar sewa rumah, maupun air mata pemuda itu ketika penolakan pekerjaan ke-99 kali datang menjelajahi pintunya. Namun demikian, negeri ini tetap memperhatikan mereka. Minimallah, hal itulah yang mencoba untuk diperlihatkan melalui acara Job Fair kali ini.
Sebanyak 53.107 pekerjaan baru telah diumumkan; terdiri dari 18.478 lowongan offline dan 34.629 online. Di antaranya ada 135 posisi spesifik untuk difabel. Data tersebut tak hanya angka biasa, tetapi menjadi perahu penyelamat yang diberikan pemerintah bagi mereka yang nyaris tenggelam dalam laju sistem.
Laporan formal yang diumumkan oleh Kepala Pusat Pasar Tenaga Kerja Kemnaker, Surya Lukita Warman, mengungkapkan semua rincian acara ini. Ada 112 stan milik perusahaan dan partner terlibat dalam kegiatan tersebut, mulai dari industri pertambangan sampai game online. Situs web pencari pekerjaan semacam Jobstreet, KarirHub, bahkan HiredToday juga berpartisipasi. Sebanyak 139 penyalur tenaga kerja telah ditugaskan untuk membantu prosesnya. Selain itu, wawancara langsung dilaksanakan sebagai bagian darinya. Diskusi panel pun dirancangkan. Layanan konsultasi karier juga siap melayani para peserta.
Namun, bisakah hal itu menghapuskan pengangguran struktural yang menimpa 7 juta orang?
BPJS Ketenagakerjaan menyatakan bahwa dari 142 juta tenaga kerja, kurang lebih 60% saja yang mendapatkan perlindungan. Sebagian besar lainnya masih berada di luar garis sistem dan dilupakan. Terdapat lebih dari 50 juta pekerja tidak tetap yang menghadapi risiko ini dengan tangan kosong, tanpa adanya jaminan saat mereka terpeleset karena tangga pabrik rusak atau tertusuk benda panas seperti besi. Yang menjadi sorotan adalah meskipun Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) telah ditentukan dalam aturan, namun belum mencakup kelompok tersebut.
Berdasarkan laporan dari Bank Dunia serta penelitian-penelitian ILO, dikatakan bahwa sebanyak 55% alumni pendidikan menengah dan tinggi belum dapat bekerja di bidang masing-masing. Misalkan ada orang yang mengambil jurusan akuntansi namun kemudian menjadi tenaga penjualan produk kecantikan; atau seseorang dengan gelar dalam studi pertanian malah berprofesi sebagai kurir pengantaran paket. Hal ini bukan salah para individu tersebut. Sebaliknya, masalah terletak pada suatu ketidaksesuaian keterampilan yang dikenal dengan istilah ‘skills mismatch’.
Di Belakang Layar Job Fair, Pentas Negara
Mentri Tenaga Kerja, Prof. Yassierli, menyampaikan sambutannya dengan penuh emosi dan bukan sekadar membaca teks. Suaranya terdengar bergetar saat ia mengungkapkan, “Saya sadar bahwa mencari pekerjaan bagi pemuda pada masa kini sangatlah sulit. Namun, izinkan saya mengingatkan Anda semua: jangan pernah menyerah.”
Itulah sebabnya terletak semangat optimis tersebut. Melalui program ini, negara sudah tidak menggantungkan diri hanya pada ungkapan-ungkapan lama atau pidato-pidato kosong. Negara mulai bertindak dengan mempercepat pendekatan vokasional, menyusun program pelatihan, serta melaksanakan proses peningkatan keterampilan dan pembelajaran ulang kerja. Tujuannya adalah untuk mencapai 5 juta partisipan dalam program pelatihan vokasional setiap tahunnya.
Bidang-bidang baru seperti pekerjaan hijau, ekonomi digital, dan energi terbarukan telah diajukan. Menurut proyeksi dari Bappenas, hingga 4,4 juta lapangan kerja baru dapat diciptakan apabila sektor-sektor tersebut mendapat dukungan melalui insentif pajak serta kebijakan afirmatif.
Namun, tidak semuanya berjalan dengan lancar. Penerimaan inklusif bagi penyandang disabilitas masih bersifat terlalu simbolis. Dari ribuan lowongan kerja yang tersedia, hanya beberapa ratus yang ditujukan untuk mereka. Sementara itu, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 telah mengharuskannya bahwa setidaknya 1% dari karyawan harus merupakan penyandang disabilitas di sektor swasta dan 2% pada instansi pemerintahan.
Pameran pekerjaan, pelatihan vokasi, serta digitalisasi portal kerja seperti KarirHub merupakan tindakan nyata. Dari kesulitan tersebut, bangsa ini berbenah diri. Meskipun belum sempurna, setidaknya telah dimulai dengan lambat namun pasti. Negara kini keluar dari teks dan menerapkan hal-hal di dunia nyata.
Penutup.
Jumat Malam, Para Pekerja Tetap Bangun
Jumat malam ini mempunyai arti berbeda untuk setiap individu. Ada yang menjadikannya sebagai waktu introspeksi. Namun, bagi kebanyakan orang lainnya, itu hanyalah hari biasa. Momen penuh keresahan lantaran masih bingung akan pekerjaan esok hari.
Tetapi, malam ini pun luar biasa. Sebab negeri yang dulu dianggap buta dan telinga akhirnya mulai melihat dan mendengarkan. Sebab sekarang Menteri beserta wakilnya tidak cuma bicara tetapi juga beraksi. Malah Buruh seperti Sukron dapat mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata, “Aku ingin bekerja. Namun aku juga mengharap penghargaan.”
Artikel ini lebih dari sekedar sebuah laporan. Ini adalah suatu bentuk pengakuan. Menunjukkan bahwa saat warga negara memegang amplop cokelat, mereka tidak mencari belas kasihan. Mereka justru datang untuk menuntut hak-haknya. Hak yang tercatat dalam undang-undang dasar, disahkan oleh ILO, dan sekarang secara bertahap dimuliakan oleh pemerintah.
Negara ini tidak akan berkembang pesat hanya berkat pembangunan infrastruktur saja. Justru dengan memperhatikan hal-hal sederhana di awal lah negara itu menjadi besar. Tanpa jaringan, tanpa pewarisan, dan tanpa perlindungan selain dari satu hal yaitu undang-undang dasar atau konstitusi.
Dan pada hari Kamis dan Jumat pagi, di antara tenda-tenda berwarna putih tersebut, terlihat secercah semangat republik yang tetap bertahan.
Di dalam tenda berwarna putih tersebut, di tengah surat lamaran yang terkena air hujan dan impian yang masih menyala, kita menangkap bayangan republik yang tetap memiliki kehidupan. ***