PR MEDAN –
Situasi petang di Mapolda Sumatera Utara tiba-tiba menjadi tidak biasa pada hari Rabu, 7 Mei 2025.
Ibu Rumah Tangga bernama Mimi Herlina Nasution berjalan percaya diri menuju Gedung Bidang Profesi dan Pengamanan (Bidpropam) di Polda Sumut.
Dikelilingi oleh tim pengacaranya—Khilda Handayani, SH, MH; Hans Silalahi, SH, MH; serta Simson Simarmata, SH—Ia menyampaikan laporannya yang mengkritik dua perwira tingkat menengah dari Polda Sumut atas campur tangan mereka dalam suatu proses hukum yang masih berlangsung.
Laporan resmi tersebut diambil alih secara langsung oleh Aiptu Holong Samosir pada pukul 15.00 Waktu Indonesia Bagian Barat, dan dicatatkan dalam dokumen berjudul Surat Penerimaan Pengaduan Propam dengan nomor referensi: SPSP2 / 82 / V / 2025 / SUBBAGYANDUAN.
” Ini lebih dari sekedar penolakan,” ujar Khilda Handayani dengan nada mendalam. “Ini merupakan pernyataan ketidaksetujuan terhadap adanya indikasi intervensi oleh pihak Irwasda dalam kasus hukum yang sedang diproses saat ini,” lanjutnya pada hari Minggu, 11 Mei 2025, seperti diketengahkan melalui Pikiran Rakyat.
Dalam laporannya, muncul dua nama yaitu Kombes BS dan Kompol ES, mereka berdua adalah pegawai dari Irwasda Polda Sumut. Dicurigai bahwa kedua petugas ini terlibat dalam pengaruh pada dua laporan polisi yang disampaikan oleh Mimi Herlina, yakni LP/B/418/II/2024 serta LP/B/419/II/2024.
Kasus-kasus tersebut pertama kali diproses oleh Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Medan, tetapi kemudian dengan cepat diarahkan kepada Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sumatera Utara pada tanggal 18 September 2024.
Khilda berpendapat bahwa tindakan itu memunculkan banyak pertanyaan tentang kesetaraan Irwasda.
Tak hanya dua LP itu saja, Khilda mengungkap bahwa ada empat laporan lain yang kini ditarik ke Subdit 1 Indag Krimsus. Kasus-kasus tersebut melibatkan berbagai pihak, termasuk Mimi Herlina sendiri sebagai pelapor dan terlapor.
Menariknya, satu LP yang diajukan oleh Baik Budi Manulang sudah resmi dicabut. Sedangkan laporan Tjiong Budi Priyanto (LP/B/2196/VIII/2024), menurut tim hukum Mimi, seharusnya tidak bisa diproses karena telah dihentikan sebelumnya (LP 1889 pada tahun 2022), dan masuk dalam prinsip ne bis in idem.
“Sejak 8 Januari 2025, kami bahkan telah memegang surat usulan pembatalan legal standing pelapor dari BPN Medan. Tapi anehnya, kasus justru kembali ditarik dan dibuka ulang,” jelas Khilda.
Surat Edaran yang Memperkeruh Keadaan
Sumber utama masalah dimulai saat Irwasda menerbitkan surat edaran bernomor B/ND-83/II/WAS.1.2/2025 yang menyatakan bahwa seluruh laporan harus dialihkan kepada Direktorat Kriminal Umum (Krimum). Surat tersebut dianggap oleh tim hukum Mimi sebagai hal yang sangat merugikan bagi kliennya.
“Segala sesuatu yang telah mencapai pemahaman hukum sekali lagi dikembalikan ke posisi awal. Ini mirip seperti memulai cerita dari awal tetapi kali ini dengan dampak kerugian yang jauh lebih berat,” ujar Khilda secara tegas.
Akhirnya Mimi Herlina bersuara. Menggunakan nada yang penuh ketidakpuasan namun tegas, dia mengungkapkan penolakannya atas tindakan Kombes BS dan Kompol ES.
Menurut dia, tindakan campur tangan tersebut sudah mencegah usahaannya untuk mendapatkan keadilan yang sebenarnya dapat dicapainya sejak awal tahun.
“Mereka ikut campur dalam kasus yang telah jelas, dengan bukti yang sangat meyakinkan, serta adanya proposal pembatalan dari BPN. Namun semua itu sepertinya dihiraukan,” kata Mimi.
Dia juga menyentuh mengenai peranan kedua perwira itu dalam persidangan kasus LP 2196, yang ia sebut malah dilupakan oleh para peserta yang turut serta dalam keseluruhan proses tersebut.
Bukan hanya sampai disitu saja, Mimi mengatakan pula bahwa kedua belah pihal tersebut menunjukkan adanya penyalahgunaan hukum. Menggunakan kekuasaannya, diketahui bahwa mereka mendorong agar kasus yang sebelumnya telah ditutup bisa diproses kembali.
“Saya yakin ini adalah pemanfaatan yang salah dari wewenang. Jelas tujuannya adalah memperpanjang masa tunggu dan membawa proses peradilan ke arah yang diinginkan oleh mereka,” kata Mimi dengan tegas.
Tim kuasa hukum Mimi saat ini berharap agar Kapolda Sumut bertindak tegas dan mengambil langkah terkait dengan laporannya tersebut. Mereka mementaskan kebutuhan akan sikap netral serta objektif ketika memproses kasus hukum itu.
“Kami yakin bahwa hukum ada demi tercapainya keadilan. Namun, apa yang akan terjadi apabila mereka yang bertugas menerapkan hukum malah menjadi penghalang bagi keadilan?” ungkap Khilda.
Saat ini, bola api ada di tangan Kapolda Sumut. Bisakah lembaga ini membuktikan bahwa keadilan dapat tetap terjalin meskipun adanya dugaan campur tangan dari internal?