Laporan Kontributor Adim Mubaroq
, CIREBON –
– Dari awal Jumat sampai larut malam Sabtu, Aam seperti pohon yang kukuh menghadapi ribut, tetap bertahan di depan RSUD Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat sambil menantinya dengan kesabaran.
Sekitar 13 jam 30 menit air matanya jatuh perlahan, sambil menghadapi luka batin menantikan berita tentang keponakannya, Rino Ahmadi bin Wahyudin, 28 tahun.
Ia telah mulai menantikan Rino sejak pukul 10.30 WIB, setelah kejadian longsoran di daerah pertambangan batu Gunung Kuda, desa Cipanas, kecamatan Dukupuntang, kabupaten Cirebon pada hari Jumat, tanggal 30 Mei 2025. Longsor tersebut terjadi saat Rino masih bekerja di sana.
Tiap kali pintu kamar pemulasan mayat terbuka, Aam bangkit, penuh harapan untuk menyaksikan mukanya Rino. Namun ketika pintu tersebut tertutup lagi, impiannya hancur dan tinggal air mata yang mengalir.
Senja berubah menjadi malam, dan khabar sedih pun tiba-tiba muncul. Rino telah dijumpai. Rino merupakan salah seorang dari 14 korban longsoran yang meninggal dunia. Di sisi lain, empat orang mengalami luka-luka, serta delapan individu lagi masih hilang tanpa jejak.
Setelah mendengar berita tersebut, tangisan Aam menjadi lebih keras. Suara yang sudah tersapu oleh kelelahan nyaris tidak terdengar, hanya kalimat dipenuhi dengan air mata.
“Dia adalah seorang anak yang baik, menjadi tulang punggung serta selalu peduli terhadap keluarganya,” kata Aam sambil menyeka air matanya dengan kerudung hitam yang menutupinya.
Yanuar, sang adik dari Rino, berada di sebelah Aam. Muka Yanuar tampak pucat dan matanya bengkak. Ia sadar bahwa saudara kandungnya itu merupakan keberanian utama keluarga—seseorang yang selalu dapat diharapkan.
Kini, Rino pergi meninggalkan istrinya yang masih berusaha bertahan, serta seorang anak laki-laki berumur 4 tahun yang terlalu muda untuk merelakan bapaknya hilang.
Malam tersebut, atmosfer di dalam rumah sakit penuh dengan kesedihan mendalam. Satu per satu ambulans tiba dan meninggalkan tempat kejadian, sirine mereka menerangi koridor sempit sambil mengingatkan tentang pisau pemotong yang tidak dapat dicegah. Tangisan pilu dari kerabat pasien lain saling berekor, menciptakan simfoni dukacita yang tiada hentinya.
Pada pukul 00.10 WIB, pada hari Sabtu dini hari, mayat Rino akhirnya dimasukan ke dalam ambulance. Aam disertai oleh air mata merapatkan baris dan cepat mengambil langkah memasuki sana bersama kedua rekannya tersebut. Di tengah rasa sedih yang begitu mendesak, Aam menyadari bahwa malam itu, ia tidak akan pergi meninggalkan Rino seorang diri menuju desanya yaitu Cikalahang, di Kecamatan Dukupuntang.
“Mohonlah agar Allah SWT memasukkannya ke surga-Nya,” bisiknya lembut, suaranya seolah tersapu oleh dengung ambulance yang berlalu lalang.
Pada pagi buta tersebut, ambulans melaju pelan dengan lampu berkedap-kedip menghancurkan kesunyian. Dalam kendaraan itu, Aam duduk terdiam di pusat ambulance, merangkul kuat kenangan bersama sang keponakan yang saat ini sudah tiada.
Walaupun jiwanya terluka, Aam mencoba mengabadikan sebagian kesedihannya sebagai ingatan manis tentang Rino—senyuman hangatnya, nada lembut suaranya, serta kepeduliannya pada keluarganya. Kerugian yang dialami tak hanya menjadi sesal, tetapi juga rasa bersyukur telah memilikinya di dalam hidupnya.
Dengan duka yang menyakitkan, Aam masih memandang ke depan bersama ratusan keluarga lainnya sambil berhar-har pada satu saat di masa datang mereka semua akan bertemu lagi abadi, serta kasih sayang yang dahulu sempat hadir akan selalu lestari dalam tiap permohonan doa dan kenangan.