TRIBUNMAROS.COM, MAROS
– Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Maros mendaftar 100 kasus kekerasan serta pelecehan terhadap wanita dan anak dari Januari sampai Mei 2025, yang berarti dalam Lima Bulan Terkahir.
Angka tersebut mengalami kenaikan yang signifikan dibandingkan dengan tahun 2024.
Tercatat sebanyak 100 kasus selama tahun 2024.
Sementara pada 2025, dalam lima bulan pertama, jumlah kasus sudah menyamai angka tersebut.
Ipda Rahmatia dari Satuan PPA Polres Maros menyatakan bahwa kebanyakan penjahat adalah orang-orang yang dekat dengan korban dan peristiwa tersebut biasanya terjadi dalam lingkaran keluarga.
“Sebagian besar insiden pelecehan seksual dilakukan oleh orang-orang di dekat korban. Di sisi lain, banyak tindak kekerasan fisika yang terjadi antara sesama peer,” katanya pada hari Selasa, 3 Juni 2025.
Tetapi, informasi tersebut sangat berbeda dari catatan yang dimiliki oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Maros.
Andi Zulkifli Riswan Akbar dari DP3A mengatakan bahwa mereka telah menangani sebanyak lima kasus sepanjang tahun ini.
“Bila benar ada hingga seratus laporan, kami mengasumsikan bahwa para pengadu akan secara langsung mendatangi Polres tanpa melewati DP3A. Hal itu cukup masuk akal,” jelasnya.
Mantan Camat Turikale tersebut mengkritisi peranan yang kurang signifikan dari pemerintahan kecamatan dan desa dalam upaya pencegahan serta pembinaan terhadap para korban.
“Personel kami sangat terbatas. Wilayah yang kami tangani cukup luas, jadi kami butuh dukungan camat, lurah, dan kepala desa,” ujarnya.
Menurutnya, lonjakan kasus ini juga dipicu faktor ekonomi dan kurangnya pemahaman orang tua soal pola asuh.
Dia menyadari bahwa tingkat kekerasan yang tinggi dapat mencegah Maros menjadi kabupaten layak anak.
“Kami tidak berharap kasus ini disembunyikan. Semakin banyak yang dilaporkan, semakin cepat kita dapat menyelesaikannya,” tegasnya.
Ketua Komisi III DPRD Maros, Haeriah Rahman, menilai lonjakan kasus tidak lepas dari pengaruh media sosial dan minimnya pengawasan orang tua.
“Perilaku sosial para remaja saat ini cukup longgar. Terlebih di dalam rumah, mereka dapat menjangkau banyak konten melalui perangkat mobile tanpa ada yang memantau,” katanya.
Dia juga merasa bahwa upaya penyuluhan yang digelar oleh DP3A di tempat-tempat pendidikan belum mencapai inti permasalahan.
“Pendekatan sosial sangat diperlukan, namun itu saja tak mencukupi. Dibutuhkan strategi yang lebih komprehensif serta kerja sama,” ujarnya.
(*)